-->

Saturday, January 19, 2013

Judul pos

HIDDEN FACT

Aberforth terletak di depan bukit. Tepatnya di Lembah Greenhook, dekat Rocky Mountain, Indianapolis. Aku terkejut. Bangunannya megah sekali! Aberforth memiliki lima gedung, yaitu Swanlake, Snowlake, Greenlake, Stonelake, dan Downlake. Swanlake dan Greenlake digunakan untuk asrama, Snowlake untuk urusan administrasi, perpustakaan, dan laboratorium, sedangkan Stonelake dan Downlake merupakan gedung sekolah.
Di Swanlake terdapat dua asrama, yaitu Wisteria dan Camellia, masing-masing untuk perempuan. Sedangkan di Greenlake, ada Thunder dan Lion untuk laki-laki. Walaupun Swanlake dan Greenlake merupakan dua gedung yang berbeda, namun keduanya terlihat seperti satu gedung saja. Itu karena kedua gedung itu menyatu, hanya bersekat tembok tebal.
Aku mengikuti Dad menuju gedung paling selatan, Snowlake. Gedung itu terlihat seperti kantor tempat Dad bekerja. Ketika kami masuk, semua pasang mata menatap ke arah kami. Aku mengekor Dad di bagian resepsionis.
“Baik, Miss Evergreen. Ini kartu pengenal Anda,” kata petugas resepsionis itu.
“Ini kunci kamar Anda, Bluebird, North Wisteria. Miss Evergreen, Anda sekamar dengan Juliette Casanova, Farah Maurine, Jennifer Sweetheart, dan umm….Hannah Queen,” tambahnya. Ia menyerahkan sebuah kunci berbentuk kepala singa. Resepsionis itu memanggil seseorang. Seorang seniorku.
“Sean, tolong antarkan Miss Evergreen ke kamarnya,” gadis yang dipanggil Sean itu mengangguk, lalu mengajakku masuk lift.
“Kamarmu Bluebird North Wisteria kan?” Tanya Sean memecah keheningan. Aku mengangguk.
“Oh ya, aku Sean Fortune,” ia mengulurkan tangan.
“Leona Evergreen,” aku membalas tangannya.
“Namamu bagus. Dari mana?” sepertinya Sean suka sekali mengobrol.
“LA. Menyebalkan. Seharusnya aku tidak mau sekolah di sini. Tapi bagaimana lagi, mau tak mau aku harus ke sini,” ucapku. Lelah bercampur kesal. Sean malah tertawa.
“Leona, kenapa kamu tak mau di sini? Lihatlah, Aberforth menyenangkan, kok,” kami keluar dari lift. Lalu berjalan menyusuri koridor. Beberapa orang gadis menyapa Sean. Aku tak berharap seseorang menyapaku, karena tak satupun orang yang aku kenal di sini.
Aku tetap mengikuti langkah Sean. Di pertigaan ada papan penunjuk. Ke kanan menuju Camellia dan ke kiri menuju Wisteria. Sean mengambil jalan ke kiri.
Aku ternganga. Di samping lorong, di tengah-tengah gedung, terdapat ruang terbuka. Di bawahnya ada taman bunga Wisteria, sesuai nama asrama di belakangnya. Kamar-kamar murid berada di samping lorong sebelah barat. Saat ini musim bunga ungu. Taman itu sangat indah, seperti Ashikaga Park di Tochigi, Jepang. Bunga pohon Wisteria yang tinggi menjulang itupun sampai ke lantai 3. Aku meletakkan koper besaryang sejak tadi kuseret sepanjang jalan. Lalu memetik satu bunga yang terdekat.
“Musim kali ini memang bagus. Matahari bersinar cerah, anginpun bertiup sepoi-sepoi,” Sean berhenti untuk menungguku.
“Ayolah, Dear. Teman-temanmu menunggu di Bluebird,” mau tak mau aku mengikuti Sean lagi. Kembali membawa koper berat itu, sambil sesekali berhenti untuk mengambil napas.
“Semoga kau betah tinggal di Aberforth, Leona,” ucap Sean ketika kami sampai di depan sebuah pintu bertuliskan, ‘Bluebird, no blue bird exist in this world,’. Aku tertawa. Sean menekan bel dua kali. Seorang gadis berkepang dua membukakan pintu.
“Satu lagi teman kalian. Aku janji,” ucap Sean pada gadis itu. Sean pergi. Kemudian gadis berkacamata itu menyilakanku masuk. Aku melepas sepatu dan meletakkannya di rak di belakang pintu.
“Hi! I’m Leona Evergreen,” sapaku pada mereka. Ada tiga orang dalam ruangan. Mereka semua berdiri menyambutku.
“Aku Hannah Queen,” gadis berkepang yang membukakan pintu tadi menyalamiku. Kemudian masuk ke kamarnya.
“Julie, Juliette Casanova,” ucap gadis berkacamata. Tampaknya ia agak dingin.
“I’m Jennie, Jennifer Sweetheart,” gadis yang memiliki mata hijau dan rambut berwarna pirang itu memelukku. Sepertinya ia ramah.
“Where do you come from?” tanya Jennie. Aku menelan ludah.
“Aku dari...LA,” aku meraih koperku.
“Istirahat dulu, Leona. Kau pasti capek. Perjalanan dari LA ke Indiana pasti melelahkan,” ucap Julie.
“Itu kamarmu,” tunjuk Jennie mengarah ke kamar di sebelah barat. Aku mengangguk, menyeret koperku ke dalam kamar. Membereskan barang-barangku dulu.
Setelah menata dan berganti pakaian, aku keluar. Di sana, Hannah, Julie, serta Jennie tengah mengobrol. Aku ikut mereka.
“Duduk sini, Leona,” ajak Julie. Ternyata ia tak sedingin yang kukira sebelumnya.
“Kau tidak tidur? Apa kamu tidak merasa capek dari LA?” Tanya Hannah. Aku menggeleng.
“Tidak. Kalian berasal dari mana saja?” tanyaku.
“Aku dari Carolina, Hannah dari Phoenix, dan Jennie…dari mana kamu?” Julie menggoda Jennie. Jennie manyun. Aku tersenyum melihatnya.
“Oh iya. Lupa. Dia dari kota Jeruk,” ucap Julie lagi. Kami tertawa, kecuali Jennie. Ia memukul-mukul Julie dengan bantal duduk.
“Florida?” tanyaku pada Jennie, setelah ia puas memukuli Julie. Ia mengangguk.
“Apa salahnya dengan Florida, dan jeruk?” omel Jennie. Aku menatap Hannah yang terlihat serius dengan bacaannya.
“Apa itu?” tanyaku pada Hannah. Ia mengangkat bacaannya.
“Forthzine, berita harian Aberforth,” jelas Hannah. Aku mengintipnya.
“Ada berita bagus apa?” Tanya Julie.
“Florida dinobatkan menjadi kota terkaya se-Amerika,” jawab Jennie kesal. Sepertinya dendamnya belum terbalaskan. Julie meliriknya sengit.
“Kamu kok sirik terus padaku?” ucap Julie.
“Oh, aku hampir lupa!” teriak Hannah. Ia melempar koran begitu saja, lalu berlari menuju kamarnya. Aku memungut Forthzine yang tergeletak begitu saja. Membuka-bukanya. Aku memang suka membaca sih, tapi rasanya malas untuk kali ini.
“Hi, girls! Lihat apa yang kubawa,” Hannah muncul dengan sepiring apple pie. Jennie mengernyitkan kening.
“Dari ibuku, Jen,” Hannah memberikan alasan sebelum ditanya.
“Kalian harus tahu, perintahnya tak bisa ditolak,” tambahnya. Aku mendongak. Tertarik dengan pie Hannah. Aku mengambil sepotong dan menggigitnya.
“Oh my God! Sumpah, ini enak sekali!” teriakku. Aku memang belum pernah makan apple pie seenak itu. Jennie dan Julie penasaran.
“Ah masa’?” gumam Jennie dan Julie bersamaan. Mereka ikut mencicipi.
“Uh, sial! Enak banget!” gumam Jennie dengan mulut penuh. Julie menatap jijik.
“Huh, kalau makan jangan sambil bicara! Tuh, muncrat ke mana-mana. Jorok tahu!” Julie mengingatkan. Jennie manyun. Hannah puas sekali. Pie-nya laku keras.

My Unloved School

 “Oh ya, katanya, kita satu kamar berlima, kan?” tanyaku sembari mengunyah pie. Jennie mengangguk. Ia mengambil sepotong pie lagi.
“Iya. Farah Maurine. Cewek NY,” jawab Jennie. Aku menatap ke seluruh penjuru ruangan.
“Farah sedang keluar. Katanya ada yang harus diselesaikan,” ujar Julie. Aku hanya ber-oh saja. Aku kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
Boarding school ini berbeda, ruangannya luas. Setiap ruangan terdapat beberapa kamar tidur, ruang tamu dan dapur. Mirip apartemen. Aku kembali melihat Hannah yang kembali asyik dengan bacaannya. Apa menariknya majalah itu?
“Kelihatannya serius sekali? Ada apa sih?” Tanya Jennie sembari menyodorkan sekeranjang jeruk. Kali ini ganti dia yang menyuguhkan makanan.
“Ini nih, terdapat berita berjudul ’Aberforth in the 250th Anniversary: The Real Fact’,” ujar Hannah. Ia menyerahkan majalah padaku.
“Bacakan, Leona,” pinta Jennie. Aku mengangguk. Membuka-buka majalah tersebut.
“Wow, Florida orange! Pasti Jennie yang membawanya. Iya, kan, Jen?” Julie hendak mengambil sebuah jeruk, namun Jennie mengambil semua jeruk beserta keranjangnya, memeluknya erat.
“What do you want?! Pulling me again, eh?” teriak Jennie. Julie tertawa-tawa.
“Sst, Jennie! Dengarkan Leona membacakan beritanya,” Hannah mengingatkan. Jennie manyun lagi.
“Kok cuma aku yang dimarahi? Kenapa Julie nggak?” Jennie melirik Julie sengit.
“Sebenarnya pendiri Aberforth bukanlah Leonard Aberforth, melainkan Jonathan Aberforth. Kemudian, 125 tahun yang lalu, Aberforth merupakan panti asuhan, tapi George Aberforth merubahnya menjadi sekolah, yakni ASBS–Aberforth Secondary Boarding School,” aku berhenti sejenak untuk menarik napas.
“Mulai tahun ini, semua guru diganti. Guru yang sudah tua, seperti Prof. Staine, Prof. Maida, Dr. Thompson, dan lain-lain, ditempatkan di bagian penasihat, bagian pengawasan, serta bagian yang tidak menangani murid secara langsung. Penanganan murid akan dilakukan oleh guru lain yang lebih muda,” sepertinya isi berita ini tak semenarik judulnya. Aku membuka-buka halaman lain. ‘The Leader of Aberforth is Changed’, aku tertarik membacanya.
“Eh, ini ada berita lagi,” gumamku.
“Sejak kepemimpinan Alessandro Gerardo, Aberforth berubah menjadi superior. Ia terkenal di mana-mana sebagai sekolah asrama yang mengajarkan bahasa dunia dengan metode unik. Mulai dari English, Spanish, French, Japanese, Mandarin, Arabic, Greek, Korean, dan Malay…
Alessandro dianggap sebagai satu-satunya orang yang berjasa dalam memajukan Aberforth padahal sebenarnya banyak orang di balik kesuksesan Aberforth. Ada Prof. Valentina Brugg, koordinator Japanese, Prof. Nicholas , koordinator Arabic, Dr. Amanda Lau, Mandarin, serta Prof. Abbey Staine yang mengusulkan ide terbentuknya asrama dan pengajaran bahasa-bahasa dunia. Namun, publik menganggap bahwa Alessandro-lah kunci suksesnya Aberforth.
Alessandro Gerardo, lulusan Language Academy Montevideo. Ia melanjutkan studinya di Harvard University jurusan Software System, dan meraih gelar B.A,” aku membaca artikel tersebut dengan antusias. Jennie bereaksi.
“Lulusan Software System? Bagaimana bisa jadi kepala Aberforth? Bagaimana bisa menjadi koordinator bahasa di sini?” komentarnya heran. Julie mengerutkan kening.
“Tapi ia juga lulusan Language Academy kan? Apa salahnya?” jawab Julie.
“Ssst, nanti dulu debatnya. Leona, teruskan,” perintah Hannah.
“Pencetus ide diterapkannya pembelajaran bahasa-bahasa dunia di Aberforth adalah Prof. Abbey Staine. Ketika itu ia masih menjabat sebagai Chef of Dormitory,” aku menghela napas sejenak.
“Kemudian ia merekrut Alessandro Gerardo, Dr. Nicholas Augustine, dan Prof. Valentina Burg, masing-masing untuk menjadi koordinator French, Arabic, dan Japanese,”
“Semakin lama Aberforth makin berkembang. Setelah dinilai bahwa Alessandro mampu mengorganisir bahasa dengan baik, akhirnya ia diangkat menjadi Chef of Language. Lama-kelamaan, karena banyaknya peminat, akhirnya diajarkan juga bahasa-bahasa yang lain. Oleh karena itu, Alessandro diberi tugas menjadi Chef of Dormitory sampai sekarang,”
“Dan tahun ini dibuatlah aturan baru, yang makin ketat, bagi siapapun yang melanggar akan diberi sebuah poin negatif. Poin-poin itu di jumlahkan, jika sudah mencapai angka tertentu, sang pemilik poin akan ditindak,” aku mengakhiri bacaanku. Perutku rasanya lapar. Aku ingin makan.
“Is there something to eat?” tanyaku pada teman-teman. Mereka kompak menggeleng.
“Ke kafetaria yuk?” ajak Hannah. Aku mengangguk.
“Sekalian cuci mata, hehehe…” tambah Jennie. Mereka bertiga segera berbenah. Aku sendiri masuk ke kamar dan mengambil sepatu pantofel dan cardigan hitam. Tak lupa tas cangklong kecil berisi uang. Setelah siap, kami berempat keluar. Julie yang terakhir keluar segera mengunci pintu.
“Kalian tahu di mana kafetaria?” tanyaku pada mereka setelah kami memasuki lift.
“Yang aku tahu ada di lantai 1,” jawab Julie. Yang lain tak tahu. Untung aku sempat mengambil peta Aberforth di meja resepsionis tadi. Kami langsung menuju lantai pertama.
“Menurutku, si penulis artikel tadi agak tidak menyukai Mr. Gerardo sepertinya,” ujar Hannah ketika kami keluar dari lift. Lalu mengambil jalur koridor kanan.
“Entahlah. Yang jelas aku masih tidak paham kenapa ia menulis artikel tersebut,” komentar Julie.
“Aku kira tidak apa-apa, jika publik menganggap Alessandro-lah kuncinya. Tapi, mengapa penulis itu malah membuat Mr. Staine terlihat seperti pahlawan dalam artikel yang ditulisnya? Seperti menunjukkan bahwa dia-lah, Prof. Staine-lah pencetusnya,” tambahku. Kami sama-sama tidak mengerti. Atau mungkin hanya aku serta Julie, kalau ia memang benar-benar tidak paham.
“Ya. Mungkin Leona benar. Ada sesuatu…”
“Ssst… Jaga volume suara, please! Kita tidak di kamar sekarang,” bisik Hannah memotong ucapan Jennie, ketika kami berpapasan dengan rombongan guru. Diantaranya ada Mr. Augustine dan Prof. Burg.
“Di mana kafetarianya?” Tanya Hannah. Kami bertiga berhentidi pertigaan.
“Belok ke kanan,” ucapku dan Julie berbarengan.
“Wah, pakai satu hati satu kata nih. Yakin?” Jennie meragukan jawabanku dan Julie.
“Iya. Yang benar nih, sis? Kakiku sudah capek nih. Mana belum ada cowok nongol, lagi,” keluh Hannah.
“Terserah. Kalian mau ikut atau tidak?” tawarku.
“Dari mana kamu tahu arahnya ke sana?” Tanya Jennie lagi. Aku dan Julie mendengus kesal.
“Tuh, ada papan penunjuknya,”  Julie menunjuk ke atas. Jennie dan Hannah menepuk keningnya masing-masing.
“Wah, satu hati satu perbuatan! Cocok!” komentarku. Kami berempat tertawa, lalu melanjutkan langkah.

My Unloved School

No comments:

Post a Comment